welcome


Jumat, 19 Desember 2014

Pesantren Bergaya Resort?

Jika anda mendengar nama resort? Apa yang terbesit di pikiran anda? Pasti anda sedang memikirkan sebuah tempat penginapan yang nyaman dan bersih. dengan Pepohonan yang rindang memberi kesan teduh dan asri. Taman yang dihiasi rumput hijau dengan beragam bunga yang cantik turut memperindah tapilannya. Biasanya par pemilik resort menata penginapan ala pesisir tersbut sedemikian rupa sehingga pengunjung bisa betah berlama-lama di sana.
            Itu tadi sedikit gambaran dari penginapannya para tourist. sekarang kita coba beranjak untuk melihat potret dari gambaran penginapan para santri. Biasanya halaman pesantren-pesantren itu gersang, kalu datang musim kemarau akan berdebu, dan kalau musim hujan akan becek. Tak jarang sampah berserakan di sana-sini. Di beberapa tempat, kamar mandinya masih berupa swimmimg pool (istilah saya dalam menyebut blumbang mandi) atau malah di sungai. Kalaupun kamar mandi sudah bersekat, dapat ditebak seringkali banyak lumut di dinding nya atau ada sabun yang tenggelam di dasar bak.
            Sekarang coba bandingkan kedua lokasi yang telah saya gambarkan ini! Keadaan di resort wisata pasti lebih layak dihuni dan terjaga kesehatannya. Mengapa pesantren tidak dibuat seperti ini saja? Apakah menuntut ilmu agama tidak boleh di tempat yang sejuk dan segar? Mana yang lebih nyaman, membaca kitab kuning dalam kepungan debu, atau dengan menghirup udara segar? Apa santri harus gudigen (penyakit scabies)? apakah seperti ini cara mendidik santri agar menjaga kebersihan, kesehatan, dan lingkungan? atau bagaimana kalau halaman pesantren ditanami serai saja, agar tidak usah repot-repot pasang obat nyamuk jika malam tiba.
Saya tidak bilang pesantren harus sama plekk seperti resort yang ada kolam renang mewahnya, dan penghuninya tidur menggunakan spring bed. Namun apa tidak lebih bermanfaat kalau halaman pesantren yang gersang itu ditanami tanaman hias, bunga, dan pepohonan. Selain menambah kadar oksigen, juga mengurangi polusi. Keadaan akan lebih sejuk. dan Begitu pula kondisi di dalam kelas, kamar, dan masjid. bukankah akan lebih nyaman beribadah dengan kondisi sejuk daripada panas?  
            Yang selanjutnya adalah kamar mandi, walaupun tidak terlalu bagus, tapi setidaknya setiap seminggu digosok lumutnya, kan santrinya banyak.  
             

Jumat, 12 Desember 2014

Setelah Sarungan, lalu Belajar Dasian


             Sebuah corak, budaya, dan identitas bangsa yang punya sarung, tentu bangsanya “ya musti sarungan”. Sebuah model berbusana yang tetap terjaga meski merek jeans semakin digandrungi. Tetap berwarna-warni walau banyak jubbah putih suka sok ngajari. Apapun busananya, kalau sarungan akan tetap serasi. Dan itu jadi kegemaran santri sampai saat ini.
            Paragraph pertama yang telah saya tulis di atas, sedikit menggambarkan fenomena yang ada pada bangsa kita. Islam Indonesia yang moderat saya gambarkan dengan sarungan. Jeans menggambarkan model pemikiran barat yang liberal, tetap tidak dapat menghilangkan popularitas sarung untuk tetap dipakai sarungan. Walau Islam radikal merasa yang paling benar dengan seragam putih-putihnya, yang sarungan tetap  benar karena tidak ada orang memakai sarung yang warnanya seragam. Warna-warninya itu yang “bikin asyik” kayak permen Nano-Nano. Orang yang sarungnya warna hijau tidak risih sholat bareng yang warna merah, begitu juga dengan yang kuning, hijau, biru dll. Bukan hanya yang sesama sarung, sama merek Cardinal aja tetep cocok, maching juga kalau Cardinal-nya itu baju atasan dan bawahannya sarungan.
            Di statement akhir pada paragraph satu, sarungan menjadi model berbusana kegemaran Santri. sebelum gemar, mereka harus belajar bagaimana caranya sarungan, karena kalau tidak bisa, bagaimana bisa gemar? Tutorial-nya mereka dapatkan dari Pesantren tempat mereka menimba ilmu. hal ini terlihat dari sejarah yang telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh moderat yang lahir dari pesantren dengan semangat berbangsa (nasionalisme). [1]
            Akan tetapi, kekurangan dari mbah-nya pendidikan di Indonesia ini adalah terkadang produk-produk yang ia cetak terkadang tidak tahu caranya bagaimana memakai dasi. Apa pentingnya memakai dasi? Dasi di sini melambangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dalam hal ini, Nurcholis Madjid mengungkapkan bahwa esensi dari tantangan di era modernisasi ini adalah ilmu pengetahuan dan tekhnologi.[2] Seringkali produk pesantren kurang memiliki kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan mental ang kurang, terutama gagap akan tekhnologi. sehingga Hal inilah yang menyebabkan kenapa santri yang sudah bisa sarungan masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat modern.
            Belum cukup dengan sarungan, perlu adanya Tutorial memakai dasi di dalam pesantren, hal ini perlu ketika alumni pesantren perlu memenuhi tuntutan zaman. Dasi di sini melambangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
            Kurikulum ilmu pengetahuan umum memang sudah banyak diajarkan di banyak pondik pesantren, namun hal ini tampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah saja. Perlu adanya konsentrasi lebih dan inovasi yang dilakukan dalam pondok pesantren. Seperti halnya menambah dukungan pendidikan formal pesantren melalui kerjasama dengan lembaga BIMBEL seperti Primagama, Kumon, Ganesha dll. Selain itu untuk mengembangkan mental mereka dikatakan perlu mengikutsertakan santri pada ajang OSN, Pospeda dan lain sebagainya. Sumber berita seperti Koran juga perlu untuk menmbah wawasan santri dalam pesantren.




[1] Wasid Mansyur, Menegaskan Islam Indonesia, (Surabaya: Pustaka Idea, 2014). 9
[2] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina). 103